Abdurrahman Wahid (Gus Dur): Perjalanan Hidup dan Pemikiran Seorang Presiden Inspiratif
Abdurrahman Wahid (Gus Dur): Perjalanan Hidup dan Pemikiran Seorang Presiden Inspiratif |
Abdurrahman Wahid, yang akrab dipanggil Gus Dur, adalah seorang tokoh besar dalam sejarah Indonesia. Ia menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia ke-4 dari 20 Oktober 1999 hingga 24 Juli 2001. Lahir pada tanggal 4 Agustus 1940 di desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur, Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Ayahnya, KH. Wahid Hasyim, adalah seorang pendiri organisasi besar Nahdlatul Ulama, sementara ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan memiliki empat orang anak: Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Annita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.
Sejak masa kanak-kanak, Gus Dur memiliki kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Dia juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun, Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel, dan buku-buku. Selain membaca, dia memiliki hobi bermain bola, catur, dan musik. Bahkan, Gus Dur pernah diminta menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemarannya lain adalah menonton bioskop, yang menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Hal ini membuatnya diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia pada tahun 1986-1987.
Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo, di mana pengembangan ilmu pengetahuannya mulai meningkat. Setelah itu, dia tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sebelum melanjutkan studinya di Mesir. Perkawinannya dengan Sinta Nuriyah dilaksanakan ketika dia berada di Mesir.
Setelah kembali dari studi di luar negeri, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih untuk menjadi guru. Pada tahun 1971, ia bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian, ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama, Gus Dur mulai menjadi penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisannya, pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak orang.
Pada tahun 1974, Gus Dur diminta oleh pamannya, K.H. Yusuf Hasyim, untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang sebagai sekretaris. Dari sini, Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan sebagai nara sumber dalam berbagai forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya, ia terlibat dalam kegiatan lembaga swadaya masyarakat (LSM), pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin, dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.
Pada tahun 1979, Gus Dur pindah ke Jakarta dan merintis Pesantren Ciganjur. Pada awal tahun 1980, ia dipercayakan sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini, Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan serius mengenai masalah agama, sosial, dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku, dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan terlibat dalam berbagai aspek kebudayaan, politik, dan pemikiran keislaman. Pada tahun 1983, Gus Dur menjabat sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) pada tahun 1986 dan 1987.
Pada tahun 1984, Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-aqdi yang diketuai oleh K.H. Asad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan ini kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta pada tahun 1989 dan pada muktamar di Cipasung, Jawa Barat, pada tahun 1994. Jabatan ketua umum PBNU dilepas saat Gus Dur menjadi Presiden Republik Indonesia ke-4.
Selama menjabat sebagai presiden, pemikiran Gus Dur seringkali kontroversial, dan seringkali pendapatnya berbeda dari pendapat banyak orang. Gus Dur meninggal dunia pada usia 69 tahun pada tanggal 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, meninggalkan jejak kepemimpinan dan pemikiran yang mendalam dalam sejarah Indonesia.