LSM PENJARA 1 Soroti Negara Gagal Amankan Keadilan Ekonomi: Keuntungan Triliunan dari Tambang Batubara Menguap ke Tangan Swasta
![]() |
Ketua Umum LSM PENJARA 1, Teuku Z. Arifin |
Sabda Guru, Jakarta – Di tengah deru wacana transisi energi dan janji pengurangan emisi karbon, potret suram pengelolaan tambang batubara di Indonesia justru memperlihatkan wajah lain: pengingkaran terhadap kedaulatan negara dan pelecehan terhadap amanat konstitusi. Hal ini ditegaskan oleh LSM PENJARA 1, yang menyuarakan keprihatinan mendalam atas ketimpangan struktur keuntungan sektor tambang batubara yang dinilai sarat ketidakadilan dan cacat tata kelola.
Berdasarkan analisa data tahun 2021 hingga 2022, nilai transaksi penjualan batubara nasional mencapai sekitar Rp3.340 triliun, namun hanya sekitar Rp300 triliun hingga Rp400 triliun yang tercatat masuk ke kas negara melalui PNBP dan pajak. Artinya, lebih dari Rp2.500 triliun laba bersih berpindah ke tangan swasta, terutama korporasi besar, sementara negara hanya menjadi penonton yang sekadar mencatat keuntungan yang tak seberapa.
Ketua Umum LSM PENJARA 1, Teuku Z. Arifin, dengan lantang menyoroti ketimpangan ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap semangat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa kekayaan alam harus dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
“Negara seharusnya bukan hanya menerima sisa-sisa dari pesta batubara yang diselenggarakan oleh korporasi. Dengan hanya menerima di bawah 15% dari total keuntungan nasional, kita tidak sedang bekerja sama, kita sedang menyerahkan kedaulatan secara sukarela. Negara wajib menegosiasikan ulang seluruh skema pembagian laba agar setidaknya menerima minimal 50% dari total laba bersih nasional,” tegas Arifin.
Lebih lanjut, LSM PENJARA 1 mengungkapkan bahwa praktik penyerahan izin tambang kepada sejumlah ormas keagamaan tanpa evaluasi komprehensif maupun transparansi publik, telah membuka ruang kompromi politik yang membahayakan netralitas institusi agama serta memperkuat dominasi oligarki dalam politik sumber daya.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa pengelolaan sumber daya nasional telah jatuh ke dalam pola kolonialisme gaya baru, di mana segelintir elite ekonomi dan politik menguasai sumber daya yang semestinya menjadi hak kolektif seluruh rakyat Indonesia. LSM PENJARA 1 mendesak pemerintah agar segera melakukan reformasi menyeluruh terhadap tata kelola tambang, termasuk revisi regulasi dan kontrak, audit independen terhadap penerimaan negara, serta keterlibatan masyarakat sipil dalam proses pengawasan.
“Negara tidak boleh lagi berdiri sebagai pencatat keuntungan korporasi. Negara harus menjadi pengendali utama arah ekonomi sumber daya, sesuai dengan mandat konstitusional dan nurani kebangsaan,” pungkas Arifin.